Ruang [Episode 1]

Ruang

 ... karena kita membutuhkan ruang yang besar untuk saling berbagi

***

Seberapa besar ruang yang dibutuhkan untuk mengenal seseorang?

Dari tempat duduk yang aku tempati di dalam sini, aku bisa melihat banyak hal yang mungkin enggak dilihat orang-orang lain.

Orang-orang berjalan berdampingan, kadang berkelompok dengan ceria. Memandangi ke kanan dan ke kiri, melihat hal-hal di dalam supermarket yang sebenarnya itu-itu saja. Kemudian berbicara sepatah-dua patah kata, dan tertawa.

Mereka tertawa bersama dengan orang yang dikenal. Kenal. Apakah sebenarnya mereka mengenal satu sama lain? Atau cuma sekedar tahu nama satu sama lain saja?

Karena pada dasarnya, mengenal orang lain, kan, tidak semudah itu?

Ketika kita memutuskan untuk mengenal orang lain, maka kita harus menerima seluruh cerita yang dia bawa. Trauma, kesedihan, kesakitan, kekosongan. Semua cerita itu akan masuk juga ke dalam hidup kita.

Pertanyaannya adalah: orang-orang yang saling tertawa di seberang meja sana, apa benar-benar mengenal satu sama lain? Dan seberapa besar ruang yang dibutuhkan untuk mengenal seseorang?

“Es krimmu cair, tuh.”

Tiba-tiba dia duduk sembarangan di depanku sambil membawa es krim vanilla di tangan kanan dan menjilatinya dengan rakus.

“Enggak mau dimakan?” tanyanya lagi.

Aku tidak menjawab dan mulai mengonsumsi es krim milikku sendiri. Dia berhenti fokus pada si vanilla dan mulai memperhatikanku dengan intens. Aku membalas tatapan matanya dengan berani.

“Kenapa, ya, makan es krim gak bisa bikin haus ilang?”

Aku mengerutkan kening, “Ngomong sama aku?”

Dia mengangguk.

“Kenapa?” tanyaku lagi. “Kita enggak saling kenal. Dan bukan di situasi yang mengharuskan buat saling kenal juga.”

Just a random talk.”

Random talk with a random person?

“Kira-kira seperti itu,” katanya. “Tau, gak? Random talk itu salah satu cara yang paling ampuh buat kenal sama seseorang. Kalau cuma bilang hai, namaku Wafda, rumahku di sini, umurku sekian, percakapan bisa putus begitu aja.”

“Jadi, kalau random talk enggak gitu?”

“Buktinya, kita masih ngomong sampai sekarang.”

Interesting.

Laki-laki yang ada di depanku ini lagi ngebicarain sesuatu yang absurd, tapi menarik. Pada detik ini, aku menatap laki-laki itu yang tengah tersenyum sambil mengangkat alis. Oh, he knows that he got me.

"Bukan nggak mungkin random talk-ku barusan bikin kita saling kenal terus temenan."

Aku cuma menanggapi kalimatnya dengan senyuman. Tak lama kemudian aku berdiri dan membuang sisa es krim di tong sampah terdekat. 

Dia mengikuti. Dan masih mengikuti sampai aku turun ke lantai satu kemudian keluar dari supermarket. 

Kulitku terasa hangat. Perbedaan suhu di dalam dan di ruangan cukup besar, meski tidak bisa dibilang ekstrem. Tapi, meskipun cuaca sepanas itu, ada banyak orang yang berlalu lalang di depan supermarket dan di jalanan.

Berjalan dan berkendara dengan berisik.

Aku enggak suka keramaian, tetapi untuk beberapa alasan, aku suka melihat orang yang berlalu lalang. Ada banyak ekspresi dan ada banyak cerita yang tersembunyi di balik langkah orang-orang itu.

Cerita-cerita yang mungkin selamanya akan jadi cerita dalam benakku yang penasaran. Cerita itu akan berlanjut, atau tidak berlanjut. 

Kalau diperhatikan, perempuan asing yang kebetulan barusan menabrak bahuku sambil menenteng plastik besar berisi belanjaan dan bando kusam berwarna navy barusan pasti punya cerita. 

Mungkin anaknya lagi nunggu di rumah, makanya cara jalan dia buru-buru dan keliatan nggak sabar nunggu angkot atau becak lewat.

Mungkin juga karena memang dia nggak mau berdiri lama di bawah terik matahari siang.

“Jadi,” dia bersuara kembali setelah kami berdiam diri cukup lama di emperan restoran cepat saji ini, “random talk-ku gak berhasil?”

“Berhasil. Kamu cuma melakukan random talk dengan random people yang salah.” 

Dia melihatku dengan tampang penasaran. Gantian aku yang mengangkat alis. 

“Karena butuh ruang yang besar untuk menampung cerita orang yang kita kenal. Dan menurutku, aku nggak punya cukup ruang untuk menyelipkan sedikit cerita tentang kamu.” 

Aku menyetop salah satu angkot yang lewat kemudian menoleh ke arahnya. “You’ll see. People have too large a mass to fit into other people’s lives. By the way, duluan.”

Angkot berhenti tepat di depan kami berdua. Aku memberikan sekilas senyum tipis kepada laki-laki random tetapi cukup menarik ini.

“Namaku Wafda!”

Dia mendadak berteriak seperti orang bego dan menarik perhatian orang-orang yang lagi makan di  dalam restoran cepat saji itu.

“Enggak perlu nyediain ruang yang besar sekarang. Besok-besok juga boleh. Yang penting kamu tau nama aku.”

Dia memasukkan setengah badannya ke dalam angkot. “Dan …, nama kamu?”

Takdir biasanya dikejar dan diusahakan. Namun pada detik itu, aku percaya bahwa kadang-kadang takdir memang datang dengan sendirinya.

“Seloka.”

“Nama yang bagus.”

Kami bertatapan sampai si sopir berteriak dan mengatakan bahwa angkot tersebut mau jalan. Aku menyandarkan diri dan memberi isyarat kepada Wafda untuk turun agar sopir tidak semakin mengamuk.

Tapi mendadak, Wafda ikut masuk sambil tersenyum lebar.

“Tau nama kamu nggak menjamin kita bakalan ketemu lagi.”

In my boring life, I encounter three types of people. First, those who are also boring. Second, an attractive person. Third, a very, very attractive person.

And I know exactly where to place Wafda.

***


0/Post a Comment/Comments