[2024]
There is nothing either good or bad, but thinking makes it so.
Kata Shakespeare seperti itu.
Nggak ada yang bener-bener baik atau buruk. Semua tergantung gimana cara kita memandangnya. In my case, it's the tongue that makes it good or bad.
Keningku berkerut dan menyumpah dalam hati, tapi merasa tidak enak karena perempuan yang kutaksir berusia awal dua puluhan ini tengah menatapku penuh harap.
Tatapannya berbinar. Rasa-rasanya, dia telah menginplan rasi orion ke dalam matanya itu. Binarnya begitu terang. Aku tersenyum sedikit dan meletakkan sendok.
“Ada beberapa pilihan lain yang bisa dicoba juga, Kak, sebagai pembanding.”
Selama ini, kategori makananku hanya 2: enak dan sangat enak. Tapi rupanya katering ini masuk ke kategori yang ketiga: tidak ada rasanya. Tetapi wanita muda di depanku tengah berharap bahwa aku akan memesannya.
Aku tersenyum ramah dan menggeleng.
“Sebenernya mau, sih, Mbak. Tapi gimana, ya? Saya udah ada janji dengan vendor lain hari ini.” Aku membereskan sling bag dan berdiri. “Nanti saya kabari lagi, ya, Mbak.”
Setelah melempar satu senyum sopan, aku meninggalkan ruangan. Tanganku dengan cepat mengirim pesan ke Wafda mengenai vendor katering yang baru saja kucoba.
Aku menyipitkan mata sebentar setelah keluar ruangan. Intensitas cahaya mataharinya juga enggak kira-kira. Kulitku langsung terasa panas begitu kaki melangkah menuju motor yang diparkir di halaman sempit ini.
Tak lama kemudian, ponselku berbunyi. Wafda.
“Sel, coba dengerin!”
Bahkan aku belum bilang halo.
But maybe we don’t really need to say hello? Because there is no goodbye yet?
Mendadak, di seberang sana mengalun sebuah lagu yang unfamiliar, tapi terasa dekat.
Wafda gila. Bener-bener gila. Di saat seperti ini, masih sempat memperdengarkan lagu yang bikin aku takut. Takut dan sedih. Aku memejamkan mata, mendengarkan lirik demi lirik di lagu yang diputar Wafda.
This song … honestly it's really me. Beberapa orang menyukai sebuah lagu karena nada. Beberapa orang lagi karena kenangan di dalamnya. Kalau aku selalu terhubung dengan lirik.
Tidak perlu lirik yang puitis, hanya lirik yang dengan kata-kata biasa, tapi memiliki faktor x untukku. Lirik yang punya arti istimewa dan aku bisa jatuh setengah mati pada lagu tersebut. Dan lagu yang Wafda mainkan sekarang memberi perasaan jatuh sekaligus takut tersebut.
Aku menyukai lagunya. Tetapi aku juga takut pada arti yang kutangkap dari lirik yang dinyanyikan dengan ringan tersebut.
Love is a dream. They try to sell you in magazines.
“You think so?”
Musik mendadak berhenti dan digantikan oleh suara Wafda yang terdengar penasaran. 8 tahun berteman membuatku hafal mati nada suara yang dia miliki.
Sudah 8 tahun, ya?
Waktu sudah berjalan begitu cepat dan yang tersisa hanya kenangan yang berupa garis-garis waktu. Kelebatan-kelebatan sunyi sekaligus hangat.
Ah, rasanya baru kemarin banget kami membahas soal ruang. Dan sekarang, Wafda justru punya ruang yang paling besar di sini. 8 tahun membuat banyak cerita milik lelaki itu yang mampir ke dalam hidupku.
Cerita wisuda, ciuman pertamanya dengan salah seorang anggota BEM kampus sebelah, pekerjaan pertama, sederet nama perempuan yang gantian singgah ke dalam dekapannya, perdebatan yang kami lakukan tentang mana yang lebih nikmat di antara Indomie dan Mie Sedap. Begitu banyak sampai-sampai aku mengira bahwa Wafda menyumbang hampir 40% dari semua cerita yang mampir ke hidupku.
“Do you think love can be sold in magazines?”
Wafda tertawa. “Bisa jadi. Cinta memang sudah jadi komoditas yang bisa diperjual-belikan, kan?”
Aku mendengus.
“Wafda, love is different from making love, oke? Kalau cinta yang kamu maksud sebatas kamar hotel dan perempuan, atau produk sejenis itu, maka jawabannya iya. Itu komoditas paling laku yang bisa diperjual-belikan. Orang-orang rela ngabisin kuota untuk buka situs xnxx atau bahkan beli majalah bersimbol kelinci. Atau bahkan kamu bisa dapet gratis kalau tau cara ngegombalin perempuan, and I am sure you’ve done that one. Tapi cinta yang bener-bener itu emang bisa kamu beli di majalah?”
“Wow, Woman. Rileks.” Wafda tertawa lagi. “Konteks kamu kejauhan, bikin otakku travelling.”
“Terserah deh,” kataku sambil menaiki motor dan memakai jaket untuk meng-cover bagian lengan yang agak terbuka. “By the way, pesan aku udah kamu baca?”
“Udah,” jawab Wafda pendek. “Aku terserah kamu aja, sih, Sel. Aku percaya sama pilihanmu. Kalau kamu bilang kateringnya nggak enak, berarti emang nggak enak. Diganti aja.”
“Aku gak punya rekomendasi lagi. Temen kamu ada?”
“Okey, entar aku tanyain ke temen kantor,” kata Wafda yang langsung membuatku lega. “But, I trust Lauv. Aku percaya sama lagu itu. You never really know what it means ‘till you miss someone. Mungkin, kamu nggak bener-bener tau apa itu karena kamu belum pernah rindu sama orang-orang.”
“Maybe,” jawabku. “Apa coba yang mau aku rinduin? Semua orang-orang terdekat aku masih ada di dalam circle.”
“Termasuk aku?”
“Da, please.”
Dia tertawa. Aku menggelengkan kepala. Sudah 8 tahun dan tingkah isengnya masih juga belum berkurang. Malah, semakin lama rasanya dia semakin iseng.
“You know why I trust Lauv?”
“Hem, kenapa?”
“Because now, I miss you. Udah lama kita gak ketemu. Nanti makan bareng, ya. Di Omellet, jam 7.”
“Malem?” tanyaku memastikan. “Malem ini?”
“Aku jemput nanti di kantor.”
Dan telepon terputus. Dasar Wafda sinting! Untung aja nanti malam jadwalku benar-benar kosong dan enggak punya janji dengan siapapun. Kalau nggak, dia bakalan sia-sia jemput ke kantor!
Aku melirik arloji dan kemudian menjalankan motor menuju rumah. Bersiap-siap untuk makan bersama Wafda nanti malam.
***
“Tumben cepat pulang,” ujar Widia, homemate-ku dua tahun belakangan. Kami dulunya teman sekelas di kampus, setelah terpisah hampir 2 tahun, kami kembali bertemu dan sepakat untuk menjadi home mate.
Alasannya sederhana. Kami sama-sama belum menikah dan kebetulan sama-sama tidak suka mengurusi pribadi orangan lain. Aku bisa menerima segala macam omelan dia yang kadang enggak masuk akal dan Widia bisa nerima kalau aku bukan orang yang suka berbagi.
Dulunya, kami tidak dekat di kampus. Saling bicara hanya untuk formalitas. Tapi, entah kenapa belakangan ini kami cocok tinggal bersama.
“Mau makan malem.” Aku melepas cardigan dan melemparnya ke atas sofa. Widia berteriak kesal, mengambil cardigan tersebut, dan melemparkannya padaku.
“Taruh di keranjang, dong.”
“Buru-buru.” Aku melempar kembali cardigan itu ke arah Widia.
Sumpah serapah yang familiar terdengar dari mulut imutnya. Aku tertawa kecil.
“Mau makan sama siapa?”
“Wafda.”
“Oh, Wafda.”
Aku tidak menyahut. Lemari pakaianku terbuka lebar dan menunjukkan isinya yang super berantakan. Harus pakai yang mana?
Ada banyak sekali pakaian yang menyumpal di dalam sana. Tapi enggak ada satu pun yang benar-benar pantas untuk kupakai bersama Wafda. Aku butuh baju baru lagi, nih, kayaknya.
“Lo nggak butuh baju baru, Sel.”
Widia tiba-tiba masuk ke dalam kamar sambil memakan Pocky rasa matcha. “Ini cuma makan bareng Wafda, bukan bareng Pangeran Brunei. Just be yourself.”
“Ya kali sama Pangeran Brunei. Aku mana masuk ke level dia. Dia darah biru aku darah rendah!”
“Sialan!” Widia melempar satu pocky yang sudah digigit ke arahku sambil tertawa. Pocky di dalam mulutnya menyembur kemana-mana, membuat aku berpikir untuk menulis sebuah sticky notes supaya tidak lupa untuk mengibas tempat tidur sebelum tidur.
“Tapi, aku butuh gaya baju baru, gak, sih, Wid?”
“Kalau lo ngerasa butuh gaya baru buat keseharian lo di kantor, gue mungkin setuju. Tapi kalau gaya baru cuma untuk ketemu Wafda, buat apa?” Widia menaikkan alisnya sebelah. “Gue suka heran kenapa cewek-cewek merasa harus tampil beda setiap mau jalan?”
“Karena cowok makhluk visual?”
Widia menggelengkan kepalanya. Tampak sangat prihatin dengan pendapatku.
“Semua manusia, tuh, makhluk visual. Tapi ini bukan pertama kali lo ketemu Wafda dan jalan sama dia, kan? Menurut gue, kualitas lo di Wafda bukan lagi di look yang lo punya. Tapi di topik yang bisa lo bahas.”
“O-key?” kataku ragu-ragu. “Terus kamu ngapain di sini, duduk di ranjang aku sambil makan Pocky matcha, dan ngasih nasihat panjang lebar ga jelas?”
Widia menatapku. Dia membuka mulutnya, kemudian menutupnya lagi. “Nggak jadi, deh. Entar aja.”
Widia berjalan menuju pintu kamar. Dan sebelum benar-benar keluar, dia menyempatkan diri untuk mengatakan hal-hal yang gak penting seperti, “Jangan lupa nanti dibungkusin buat gue, ya. Ditunggu di kamar sebelah.”
***
Omellet bukan kafe paling terkenal di sini. Omellet cuma tempat sederhana yang memanfaatkan sebuah ruko tua dan dimodifikasi dengan gaya vintage. Di sini enggak ada live band macam di tempat nongkrong kekinian yang lain.
Cuma ada turntable klasik yang memutar vinyl berisi lagu-lagu lama, tapi entah kenapa tetap kedengeran edgy di telingaku. Suara yang dikeluarkan turntable itu jernih dan lagu-lagu pilihan mereka selalu sesuai.
Bukan tipe lagu galau gak jelas dan juga bukan lagu jedag-jedug yang bikin pusing.
Karyawan mereka nggak banyak, tapi hampir semuanya aku kenal. Ada Anya, kasir perempuan berwajah menyenangkan. Oji, barista kepala 3 merangkap sebagai owner dan memiliki, mengutip kata Wafda, resep kopi paling enak yang pernah dia coba.
Interior yang dimiliki juga biasa saja. Jenis interior yang akan ditemukan di tempat-tempat makan biasa. Sederhana dan tidak mewah, tapi bagiku sangat istimewa. Kursi-kursi yang tertata rapi dengan taplak bermotif flanel berwarna coklat susu.
Menurutku, suasana di dalam sini mirip dengan rumah nenek. Hangat dan penuh rasa kasih sayang.
“Di sini yang paling aku suka tuh, kotak waktunya,” kata Wafda sambil menunjuk deretan boks kecil dengan tahun yang tertulis di depannya yang ditata rapi di dinding sebagai hiasan.
Di dalam boks itu, ada banyak boks seukuran kotak korek api yang berisi kertas-kertas origami yang disediakan di setiap meja.
Isi kertas origami itu bermacam-macam. Terserah pengunjung yang mau mengisinya saja. Boks itu dibuka setiap 10 tahun. Itu artinya, punyaku dan Wafda akan dibuka 2 tahun lagi.
Apa, ya, yang dulu aku tulis di sana?
“Kamu nulis apaan di sana?”
Wafda tertawa kecil, setengah malu. “Tulisan biasa aja. Tapi pas dibaca lagi pasti kedengeran alay banget. Gak tau apa aku sanggup baca lagi tulisan itu atau enggak.”
“Emang kamu pernah gak alay?”
“Kalau lagi gak sama kamu,” kata Wafda langsung. “Makanya, kan, banyak cewek yang nempel ke aku.”
Aku memutar bola mata. Whatever.
Anya tersenyum ketika melihat kami, demikian juga Oji. Omellet telah menjadi langganan kami sejak 8 tahun lalu.
“Biasa, Bos?”
Wafda mengangguk menanggapi Oji. “Meja belakang kosong, kan? Makanannya juga biasa, ya. Buat Seloka yang pedas, buat aku yang ga pedas.”
Oji mengangkat jempolnya dan menyampaikan pesanan itu ke dapur. Sementara aku dan Wafda langsung menuju meja yang biasa kami tempati kalau datang ke sini.
“Aku suka lagu ini,” ucapku begitu mendengar salah satu lagu lama mengalun jernih dari vinyl yang terputar.
Wafda yang masih melihat beberapa interior kafe yang tampak berubah langsung melihatku, “Lirik yang mana?”
“I wanna grow old with you.”
“Dan itu mengingatkanmu pada?”
“Sama kehidupan yang sekarang,” kataku. “Ketika orang-orang yang ada di circle aku semakin sedikit, rasa pengen tumbuh bersama mereka itu semakin kuat. I mean… orang-orang yang sekarang ada itu udah mengalami proses seleksi alam. Dan mereka yang ada di dekat aku hari ini bukan orang lain lagi buat aku. Mereka udah punya ruang yang besar dan rasanya nggak mungkin untuk menghancurkan ruang itu.”
Aku menatap mata Wafda dan menemukan raut khawatir di sana. Wafda tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti ini ketika kami sedang mengobrol santai. Dan tatapannya menurutku begitu dalam.
Aku balas menatapnya, tapi setelah beberapa saat, aku sendiri yang membuang pandangan ke arah lampu tanaman hias di dekat jendela.
“Kamu selalu ngerasa begitu, ya?”
“Gitu gimana?”
“Selalu ngerasa bahwa orang-orang butuh ruang untuk masuk ke dalam hidup kamu?”
Aku mengambil selembar tisu di meja dan memainkannya. “Memangnya kamu enggak?”
“Dulu iya. Sekarang nggak.”
“Maksudnya, kamu sekarang bisa masuk dan keluar dari hidup orang-orang dengan mudah gitu?”
“Nggak gitu juga. Tapi pasti ada fase dimana aku bakalan ninggalin circle lama dan masuk ke circle baru. Dan itu kepastian. Pernah denger ungkapan bahwa satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian, gak?”
Yang lagi samaku ini siapa, sih? Apa ini Wafda yang aku kenal 8 tahun belakangan ini? Kenapa rasanya seperti ngomong sama orang yang nggak pernah aku kenal?
Aku memijat pelipis kepala pelan. “Bagiku tetap sama. Butuh ruang dan waktu buat nerima orang baru masuk ke hidupku.”
Wafda menegakkan tubuh, “Sel, kamu harus berubah. Kalau cara berpikirmu seperti ini, aku takut kamu nggak akan bisa kemana-mana. Kenyataannya, people comes and go. Enggak ada yang bener-bener bisa menetap.”
Seorang waitress bernama Andi datang, menginterupsi obrolan kami. Dia tersenyum riang, tanpa sadar bahwa atmosfer di antara aku dan Wafda sudah menjadi panas. Aku menatap Wafda, kali ini tidak mengalihkan pandangan lagi.
“Selamat menikmati, Mbak Selo dan Mas Wafda. Udah lama banget gak ke sini.”
Wafda menatapku sekali lagi, sebelum tersenyum kepada Andi dan menganggukkan kepala. Agaknya, itu memberi sinyal agar waitress muda itu cepat berlalu.
Kulihat Andi tidak mengerti kode Wafda. Meskipun begitu, dia dengan cekatan meletakan pesanan kami berdua di atas meja. Setelah berbasa-basi beberapa saat (kebanyakan Wafda yang menanggapi), Andi berlalu.
“Bener kata Andi, kita udah lama banget gak ke sini.”
Aku menghirup aroma matcha dan kopi yang saling tumpang tindih di meja. Berusaha memulai obrolan.
Tapi kurasa, Wafda menangkap maksud yang ingin kusampaikan. Kapan dia enggak tahu apa yang ingin aku katakan?
Lagu di vinyl telah berganti. Wafda menyeruput kopinya dengan canggung.
“Semuanya nggak bener, ya, Da,” kataku. “Atau cuma aku aja yang ngerasa?”
“Apanya, Sel?”
“Enggak tau.” Aku meraih sendok dan memutuskan untuk enggak membicarakan hal-hal yang mulai mengganggu pikiranku sekarang.
Udah lama sejak aku dan Wafda ketemu dan ini bukan jenis pertemuan yang aku inginkan. Tensi di antara kami berdua sudah naik bahkan sebelum kami benar-benar mengobrol.
Bumbu makanan yang sedang kusuap menetes ke kemeja yang aku pakai. Rasa kesalku bertambah.
Bukan, ini bukan karena baju yang kotor terkena bumbu. Tapi kemeja ini. Kemeja yang kupilih untuk kupakai setelah hampir pergi ke distro yang berjarak 4 km dari rumah. Kemeja yang mendadak terlihat setelah aku mencoba semua baju yang kupunya hanya untuk jalan bersama Wafda.
Kemeja yang aku sendiri lupa bahwa dia ada. Aku menghembuskan napas.
“Sorry, ya,” kata Wafda pelan. “Aku nggak seharusnya ngomong gitu tadi.”
Wafda mengambil tisu dari meja lain dan menyerahkannya kepadaku. Aku menghela napas sambil menerima tisu.
“Bukan salah kamu, kok. Akunya aja yang sensitif. Maaf juga, ya.”
Wafda tersenyum kecil. “Udahlah, untuk malem ini kita bahas yang ringan-ringan aja, ya.”
Aku mengangguk membuat Wafda mengacak rambutku dengan gemas. Merasa senang atmosfer sudah kembali baik. Aku menunjuk meja kami. “Kenapa, sih, makanan kita selalu serandom ini? Sejak kapan kopi dan matcha dimakan bareng mi goreng?”
Wafda tertawa dan mulai bercerita soal hari-harinya selama kami tidak bertemu. Suaranya begitu ringan dan aku juga menceritakan hal-hal yang ingin aku ceritakan. Kami terus berbagi cerita hingga malam semakin malam.
Satu hal yang Wafda tidak tahu, bahwa malam itu, aku tidak sepenuhnya membaik. Karena Wafda bahkan tidak sadar bahwa aku sedang memakai kemeja miliknya.

Posting Komentar