Ruang [Episode 4]

"Do I look like a geek?"

Wafda bertanya tepat ketika aku sampai di hadapannya.

Aku memperhatikan Wafda. Kemeja hitam, jeans belel, converse hitam putih yang sudah jadul. Kacamata dengan lensa yang cukup tebal bertengger di wajahnya, ransel abu-abu lusuh. Sebuah catatan kecil di tangannya. Dan... pulpen.

He looks smart.

"Enggak, tuh."

"Serius?"

"Kenapa emang?"

Wafda mengangkat bahu. "Ngerasa aja."

"Ya kalau pun iya you look like a geek, emang kenapa?" tanyaku, kemudian menariknya untuk bangkit dari posisinya sekarang. "Buruan berdiri dan sekarang kita cari makan. Aku laper. Temenku bilang ada tempat makan bagus di seberang fotokopi Jaya."

Kening Wafda langsung berkerut. "Seberang fotokopi Jaya? Omellet?"

"Pernah ke sana? Kata Widya makanannya enak, murah lagi."

"Enak, sih. Lumayan," balas Wafda singkat. "Kemarin Elisa ngajak makan di sana."

Nama baru.

Aku tidak menyahuti lagi karena Wafda sibuk bercerita mengenai konsep unik dari RestoCafe yang akan kami tuju. Bercerita mengenai interiornya, warna dinding, jenis makanan, hal yang mereka tawarkan.

"Mereka punya kapsul waktu, Sel. Jadi, ada kotak-kotak dan kertas di setiap meja. Kita bisa menulis apapun di sana. Mereka akan kumpulin dan 10 tahun ke depan, kita bisa baca apa yang kita tulis hari ini," cerita Wafda dengan antusias.

Aku tersenyum kecil. Wafda memang selalu tertarik dengan hal-hal yang unik. Dulu, aku pikir itu hanya sifat isengnya saja. Tapi sekarang, aku tahu, dia memang punya caranya sendiri melihat dunia.

"Kamu tulis apa?" tanyaku sambil berhenti melangkah. Lampu lalu lintas berubah hijau. Wafda berhenti tepat di sebelahku, menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan dan menyipitkan mata.

"Nulis apa?"

Aku mengangguk. "Kemarin sama Elisa makan di sana, kan?"

Ada jeda. Sekilas aku melihat rahangnya mengencang sebelum akhirnya ia menggeleng.

"Aku enggak nulis apa-apa, sih. Kemarin aku cuma makan aja di sana."

Aku tidak tahu kenapa dadaku terasa aneh. Aku juga tidak tahu kenapa aku ingin bertanya lebih lanjut. Elisa siapa? Sejak kapan mereka dekat? Cerita apa yang dimiliki dia hingga kamu mau diajak makan berdua? Sampai kapan kamu akan mengenal Elisa ini?

Aku hampir bertanya, tapi Wafda sudah lebih dulu mengalihkan perhatian.

"Aku cuma mikir, apa tempat itu bisa bertahan sampai 10 tahun lagi? Kalau enggak, semua harapan dan cerita yang kita tulis, bakal dibuang dan jadi sampah." Suaranya merendah. Aku tersenyum.

As always, ya, Wafda.

"Gimana kalau sebaliknya? 10 tahun lagi, kita yang enggak akan balik ke sana karena we have forgotten each other? Harapannya masih ada di sana, tapi kita yang udah enggak peduli?"

Wafda tertawa. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan dan malah langsung menarik tanganku untuk menyeberang. Lampu telah berubah menjadi merah.

Langkah Wafda agak terburu-buru sehingga aku sedikit berlari untuk menyeimbangkan langkahnya. Wafda memegang pergelangan tanganku, hold it tight dengan wajah masih tersenyum geli.

"Tahu, gak, persamaan dari kedua kalimat yang kita ucapkan tadi?"

Aku mengerutkan kening tidak paham. Wafda tidak bermain teka-teki terlalu lama dan langsung menjawab. "Pada akhirnya, semua harapan di sana akan jadi sampah."

Kami berjalan menyusuri trotoar dengan langkah cepat. Matahari bersinar begitu panas. Asap kendaraan dan pedagang kaki lima yang ramai membuat kami tidak melanjutkan obrolan.

Plang Omellet yang berwarna putih langsung terlihat. Aku mempercepat langkah untuk memasuki tempat tersebut. Pertama, karena sudah ingin ngadem dari terik matahari. Kedua karena... Wafda.

Kami selesai memesan dan sekarang tengah duduk berhadapan. Seperti kata Wafda. Ada kotak, pulpen, dan setumpuk kertas di sana. Kotak waktu.

"Jadi, menurutmu harapan itu sampah, ya?"

Wafda yang masih melihat langit-langit Omellet langsung menatapku. Alisnya berkerut, tanda dia sedang berpikir. "Tergantung."

Aku menunggu kelanjutannya. Dia mengambil satu kertas, lalu berkata, “Tergantung dengan siapa harapan itu dibuat. Kalau harapan itu ditulis bersama orang yang jelas-jelas enggak akan aku temui lagi dalam sepuluh tahun, ya, itu bakal jadi sampah.”

Aku menatap matanya. Wafda mengangkat bahu, kembali bersandar ke kursi. Dia tampak sedang bermalas-malasan, tapi tangannya bergerak dengan pasti. Dia menuliskan sesuatu di atas kertas, lalu menyodorkan satu kertas lain padaku.

“Tapi, kalau orang yang aku yakin sepuluh tahun lagi masih ada di sini, kenapa enggak?”

Aku mengambil kertas itu, menatapnya sejenak. Pikiran tentang Elisa sempat mengusik, tapi perlahan terlupakan. Aku tersenyum kecil, lalu menuliskan harapanku sendiri.

***

Saat kami berjalan pulang, Wafda tampak lebih pendiam. Matahari hampir tenggelam, langit berubah jingga.

“Kalau sepuluh tahun lagi kamu masih ada di sini, kamu bakal baca ulang tulisan itu?” tanyaku pelan.

Dia menoleh ke arahku. “Aku enggak tahu.”

Aku menendang kerikil kecil di trotoar. “Kenapa?”

“Karena enggak semua hal harus diingat, Sel.”

Aku terdiam. Kata-katanya terasa ringan, tapi menggantung di udara.

Dia tersenyum kecil, lalu melangkah lebih dulu. Aku tetap diam di tempatku, melihat punggungnya yang menjauh.

Aku berharap, delapan tahun dari sekarang, kamu masih bisa mengingat hari ini, Da.

***

Dua jam kemudian, aku masih memandangi kertas kecil yang kutulis di Omellet. Aku membacanya berulang kali, berusaha memastikan aku tidak menyesal menuliskannya.

Aku belum menyimpannya ke dalam kotak yang tadi. Entah kenapa, aku ragu.

Sebuah notifikasi masuk di ponselku. Dari Wafda. 

Jangan taruh di kotak kalau kamu ragu. Simpan aja sendiri. Kadang, kenangan lebih berharga kalau kita yang jaga, bukan orang lain.

Aku tersenyum kecil. Seolah dia tahu apa yang kupikirkan.

Kertas itu tetap kubawa pulang.

Sebelum masuk ke dalam kos, aku berhenti sejenak di depan minimarket kecil di ujung jalan. Di sana, aku melihat Ale tengah memilih minuman di lemari pendingin. 

Dia menangkap keberadaanku, tersenyum sekilas, lalu mengangkat botol air mineral yang baru diambilnya, seolah bertanya apakah aku mau juga.

Aku menggeleng, balas tersenyum. Ale tidak berkata apa-apa, hanya memberi lambaian kecil sebelum menuju kasir. Aku memperhatikan punggungnya yang tegap, langkahnya yang selalu pasti. 

Berbeda dengan Wafda yang sering ragu-ragu, Ale selalu tampak yakin dengan apa yang dia lakukan. Bahkan dalam hal sesederhana memilih air mineral.

Aku menarik napas pelan, lalu melangkah masuk ke dalam kos. 

Kertas kecil itu masih tergenggam di tanganku.

0/Post a Comment/Comments