Ruang [Episode 3]

 


“Sudah sampai mana?” tanyaku pada Wafda di seberang telepon sambil berjalan keluar dari kelas.

Pasca pertemuan dengan Wafda beberapa waktu lalu, kami bertukar nomor telepon dan sesekali bertemu.

Kami sama-sama kuliah dan perantauan. Meskipun kami berada di stambuk yang sama, Wafda kuliah di universitas yang berbeda.

Dari jurusan yang dia pilih, aku mengerti kenapa ada hal yang membuat sosoknya selalu terlihat menarik. 

Nyentrik, aneh, tetapi masuk akal.

Hari itu, kami sepakat bertemu untuk yang kesekian kalinya. 

Meskipun tidak terjadwal, kami cukup rutin bertemu. Minimal seminggu sekali, saat jadwal kuliah sedang kosong. 

Tidak ada yang istimewa, cuma sekadar berbagi cerita, bertukar pikiran, membahas musik, atau merekomendasikan buku.

“Aneh,” kata Wafda dulu pada pertemuan kami yang kedua. “Kenapa, ya, kok bisa langsung nyambung?”

“Nyambung apanya?”

“Obrolan, cara berpikir, cara berkomunikasi, hobi, lagu kesukaan. Semuanya. Kayak yang bener-bener satu frekuensi aja, gitu.”

“Ya karena memang satu frekuensi,” ujarku heran. “Apanya yang aneh?”

Waktu itu Wafda melihatku dan tertawa. “Aneh aja. Belum  pernah ada, sih, orang asing yang aku ajak ngobrol dan berubah jadi temen kayak sekarang.”

“Jadi, kebanyakan orang asing yang kamu ajak ngobrol itu?”

“Enggak menarik. Look-nya oke, tapi isi kepalanya beda. Mereka pikir kalau aku ajak mereka ngobrol, artinya aku tertarik. Padahal ya karena iseng.”

“Laki-laki memang banyak isengnya, ya?”

Wafda tertawa. “Makanya kamu harus hati-hati sama laki-laki!”

Harus hati-hati sama laki-laki. Pesan pertama dari Wafda.

Aku menuruni tangga kampus dan hampir terpeleset ketika ingin berbelok. Refleks, aku meraih pegangan dan ponselku jatuh ke bawah. Untungnya, meski terbentur cukup keras, ponsel tua itu tidak mati.

Sebelum aku menunduk, seseorang dari belakang sudah mengambil ponsel tersebut dan menyerahkannya kepadaku.

Thanks,” ucapku pelan.

Dia mengangguk dan menunjuk ponsel yang panggilannya masih terhubung, mempersilahkan aku untuk meneruskan obrolan di telepon. 

Aku melempar senyum terima kasih dan kembali berbicara kepada Wafda.

“Iya, Da? Sorry, tadi hp-ku jatuh,” ucapku, masih dengan mata yang memandang ke arah orang yang sekarang tengah merapikan beberapa buku di tangannya.

Aku nggak kenal orang ini, meskipun wajahnya juga enggak asing. Sepertinya dia masih di jurusan yang sama karena aku sering melihat dia di koridor gedung ini.

Dan dia masih berdiri di sana, membuatku merasa harus cepat-cepat mengakhiri sambungan telepon dengan Wafda. 

Beberapa orang lewat di tangga, membuatku harus bergeser agar tidak menghalangi jalan. Aku lihat, beberapa dari mereka menyapa lelaki itu. Dia tersenyum lagi dan bersandar ke dinding sambil melihatku.

Aku menelan ludah, tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Ada sesuatu dalam tatapannya. Tenang, tapi seperti sedang menilai. 

Rasanya seperti sorot lampu panggung yang menyorot langsung ke wajahku, membuatku ingin mundur selangkah.

Aku menggeser kaki ke sisi berlawanan, jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Okey, entar aku tunggu di depan pancuran. Tau, kan? See ya!”

Bip.

“Pacar?”

Aku mengangkat alis. Lelaki di depanku mengajak berbicara dan suaranya langsung menarik atensi. 

Suaranya terdengar manis, jenis suara yang bisa masuk ke dalam dapur rekaman dengan mudah. Suara yang juga mudah diingat.

“Bukan, temenku. Makasih sekali lagi, ya.” Aku mengangkat telepon genggamku.

Dia mengangkat bahu, kemudian dagunya menunjuk ponselku. “Enggak ada yang rusak, kan?”

Tidak ada. Tadi waktu mengambil ponsel ini darinya, aku sempat melihat kalau ponsel ini baik-baik saja. Enggak ada cedera yang berarti. Suara Wafda tadi juga terdengar jelas.

Okey, kok.”

“Nokia memang cenderung lebih tahan banting, sih. Tapi kayaknya umurnya nggak lama lagi. Kenapa nggak ganti yang lebih kekinian? Blackberry?”

“Belum merasa perlu buat ganti. Toh, yang ini masih bisa dipakai,” jawabku sopan. 

Belum pernah ada stranger yang mengomentari ponsel tuaku secara blak-blakan seperti ini.

Pria itu diam dan mengamati lamat-lamat. Kemudian tersenyum simpul.

“Aku Ale, anak TI tahun ketiga. Kamu?” tanyanya sambil mengulurkan tangan.

“Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh?” Aku membalas uluran tangannya, “Aku Seloka, tahun pertama jurusan SI.”

“Kayaknya enggak ada yang enggak baca Supernova, ya? Kalimat-kalimatnya bagus, memang. Tapi aku nggak ngerti jilid selanjutnya,” katanya. “Aku kurang suka baca.”

“Kalau buku kedua aku juga belum baca, sih. Jadi belum bisa memutuskan bakal ngerti sama ceritanya atau nggak,” jawabku kikuk. Sebenarnya aku tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa.

Ale diam sejenak sambil mengerutkan kening.

“Tapi Ale bukan tokoh utama di Supernova, kenapa kamu ingat?”

“Karena dia punya teman yang disebut-sebut sebagai most eligible bachelor, dan ternyata—si most eligible bachelor itu selingkuh dengan perempuan yang sudah menikah?” Aku mengucapkannya lebih seperti pertanyaan daripada jawaban.

Aku menghela napas pelan, mencoba mencari alasan lain. “Entahlah… mungkin karena namanya yang menarik perhatian atau…,” Aku melirik Ale sekilas, ragu-ragu sebelum melanjutkan, “namanya mengingatkanku pada minuman rasa jeruk?”

Ale tertawa.

“Kamu lucu. By the way, aku punya buku kedua Supernova.”

Dia mengambil salah satu buku di tangan dan mengulurkannya kepadaku. “Kasih tau aku gimana pendapatmu soal buku ini setelah baca.”

Aku memandang buku di tangan Ale dan menggeleng, 

“Kayaknya aku nggak bisa minjam,” kataku pelan. “Aku takut susah balikin. Kita kan baru pertama kali ketemu.”

Ale mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. 

“Nah, karena itu…” Dia menatapku sejenak, matanya berkilat jenaka. “Kamu harus minta nomor ponselku.”

Aku mengerjap, sedikit terkejut. “Hah?”

“Biar gampang balikin bukunya.” 

Nada suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku sulit berpaling.

Aku tertawa kecil, mencoba menepis rasa canggung yang tiba-tiba muncul. Ale masih mengulurkan bukunya, menatapku dengan ekspresi seolah yakin aku akan menerimanya. 

Tapi aku hanya tersenyum tipis, membiarkan jarak di antara kami tetap ada.

Obrolan kami berhenti di sana, tapi pikiranku terus berputar.

Ada terlalu banyak orang yang hidup di dunia ini. Ada banyak kepribadian yang mungkin kita temui. Beberapa orang memiliki kepribadian menarik, beberapa lagi membosankan.

Tetapi, dari yang aku tahu, kita memiliki kepribadian menarik di mata orang yang tepat. Menurutku, Ale mungkin punya kepribadian menarik. Tetapi bukan di mataku.

***

Penampilan adalah cara mudah untuk diingat orang lain. Bukan hanya soal good looking, tapi lebih pada hal-hal khas yang menonjol.

Beberapa orang terpatri di ingatanku karena gaya berpakaian, potongan rambut, atau sesuatu yang unik dari mereka.

Wafda? Ciri khasnya seperti orang bingung. Ia sering menatap ke atas, seolah ada sesuatu di sana yang hanya bisa dilihat olehnya.

Apa yang sebenarnya dilihat Wafda? Awan? Langit? Kabel listrik? Pohon?

Aneh, tapi itu yang membuatku cepat tanda pada keberadaannya.

Jean-Paul Sartre pernah berkata: L’existence précède l’essence. Itu bahasa Prancis, dan aku sendiri nggak tahu cara membacanya dengan benar.

Tapi intinya begini: keberadaan mendahului esensi.

Esensi adalah hakikat. Atau, jika mengikuti definisi di Brainly, sesuatu yang mendasar dan paling bermakna. Baru ketika kita ada, kita memiliki arti.

Dan Wafda membuatku benar-benar memahami makna kalimat itu.

Hari itu, aku menemukannya duduk di tepi pancuran. Tempat yang seharusnya tidak boleh diduduki. Tapi Wafda bukan tipe yang peduli pada larangan sepele.

Kepalanya menengadah, menatap sesuatu yang hanya bisa ia pahami. Bibirnya tersenyum samar, tapi tatapannya setengah kosong. Seperti melamun, atau mungkin… kerasukan pikirannya sendiri.

Saat itu, esensi Wafda terasa nyata.

Terutama untuk hatiku yang mendadak hangat ketika melihat postur dan gesturnya dari samping. 

Terasa hening. Magis. Manis.

Dia terlihat … indah. Dalam arti yang sebenarnya.

I like for you to be still: it is as though you were absent,
And you hear me from far away
And my voice does not touch you
It seems as though your eyes had flown away

(Pablo Neruda - I Like For You To Be Still)

0/Post a Comment/Comments