[2024]
Sudah beberapa hari sejak aku bertemu Wafda di Omellet. Dan hari ini Wafda mengajak bertemu di kafe dekat kantornya untuk membahas mengenai vendor katering yang tempo hari dia janjikan.
Aku menyandarkan kepala ke meja, menutup mata sejenak di antara rasa lelah dan suara gaduh kafe. Musik dari earphone mengalun pelan, The Conversation dari Mocca mengisi ruang pikiranku. Aku menghela napas. Rasanya hari ini melelahkan.
"Ngantuk?" suara itu familiar, dan saat aku mengangkat kepala, Wafda sudah menarik kursi di hadapanku.
Aku melepas sebelah earphone, menatapnya. "Bosan."
Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, melipat tangan di dada. "Bosan sama aku?"
Aku mengerutkan dahi. "Aku nggak bilang gitu."
Dia tertawa kecil, lalu tanpa izin menarik earphone satunya dan memakainya. "Lagu apaan ini?"
Dia mendengarkan sebentar, lalu mengangguk. "Oh, Mocca. Enak sih, tapi kayaknya bukan tipe lagu yang aku kira kamu suka."
Aku memiringkan kepala. "Memangnya kamu kira aku suka lagu kayak apa?"
"Me and You Against the World, mungkin?" jawabnya santai.
Aku diam. Aku bahkan tidak tahu harus menanggapi apa. Bagaimana bisa dia menebak sesuatu seperti itu? Aku hanya tertawa kecil, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Di luar sana, langit agak berawan.
"Kenapa kamu selalu nebak hal-hal kayak gini, Da?" tanyaku akhirnya.
Dia hanya mengangkat bahu, senyum tipis di wajahnya. "Mungkin karena aku perhatiin."
“BTW, adakan vendor kateringnya?”
“Ada,” jawab Wafda singkat. Dia mengeluarkan notebook kulit hitam kecil dari dalam sling bag-nya dan merobek satu halaman di tengah. “Kamu bisa hubungin nomor di sini, Sel.”
Aku melihat robekan kertas itu, tertawa pelan, “Seriously? You could’ve just sent the contact via WhatsApp, Da.”
“Ribet, ah,” katanya lagi. Dia melepas earphone-ku dari telinga dan mengembalikannya.
So lets just put them aside
Put all the worries behind us
Alih-alih The Conversation yang baru didengar, dia menyenandungkan Me and You Against the World pelan sambil menatapku. Pandangan yang tidak asing. Selama delapan tahun belakangan, dia sangat sering melihatku dengan cara seperti itu.
Sebuah tatapan yang seakan menyiratkan sesuatu yang abu-abu. Tetapi apa itu?
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi dia sudah lebih dulu berdiri, meraih tasnya. "Ayo, ikut aku bentar."
Tanpa menunggu persetujuan, dia menarik tanganku pelan. Aku mengikutinya keluar kafe, menuju trotoar dekat mobil miliknya diparkirkan. Setelah kami memasang sabuk pengaman, dia menjalankan mobilnya dengan santai.
Dan di dalam mobil, Me and You Against the World mengalun secara marathon.
***
Aku mengenali tempat ini. Sebuah taman kecil di dekat kampusku dulu. Di sini kami sering duduk sepulang kuliah, berbicara tentang hal-hal yang sepele tapi terasa penting.
"Lihat tu," katanya sambil menunjuk ke langit yang mulai meredup. "Mendungnya mirip kayak waktu kita pulang dari Omellet pertama kali, kan?"
Aku diam sambil terus berjalan menyusuri konblok taman. Memori itu muncul di benak. Tentang percakapan kami soal harapan, tentang kotak kecil di meja restoran, tentang kalimat Wafda yang masih tersimpan di kepalaku sampai sekarang.
"Aku ingat kamu pernah bilang nggak semua hal harus diingat," kataku pelan.
Dia menoleh, lalu tersenyum kecil. "Dan kamu tetap ingat?"
Aku mengangguk. Ya, aku tetap ingat. Karena ini tentang kamu, Da.
Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas. "Kadang, kita nggak bisa milih hal-hal mana yang bakal terus ada di kepala kita. Itu yang bikin nyebelin."
Aku tidak menjawab. Sebab aku tahu, dalam banyak hal, aku juga sama seperti dia. Kami sama-sama menyimpan terlalu banyak hal yang seharusnya bisa dilupakan.
***
Aku menendang kerikil kecil di konblok, menunggu dia melanjutkan. Tapi Wafda hanya berdiri di sana, menatap langit yang semakin gelap seolah mencari sesuatu di antara awan-awan yang menggumpal.
"Jadi, kenapa kamu ngajak aku ke sini?" tanyaku akhirnya.
Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, sebuah tiket bioskop yang sudah agak lecek.
"Ini?" Aku mengernyit.
"Ingat nggak? Ini tiket terakhir yang kita beli bareng-bareng sebelum aku wisuda." Dia tersenyum kecil, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Kita nonton film yang kamu kira bakal jelek, tapi ternyata kamu suka. Dan setelah itu, kita hujan-hujanan pulang karena lupa bawa payung."
Aku menatap tiket itu, kenangan yang dia sebut perlahan muncul kembali di kepalaku. Aku ingat hari itu.
Aku ingat bagaimana aku tertawa karena betapa absurdnya film yang kami tonton, bagaimana dia dengan cuek menawarkan jaketnya padaku meskipun dia sendiri kedinginan.
Aku juga ingat sesuatu yang lain.
"Waktu itu, kamu hampir bilang sesuatu," kataku pelan, lebih kepada diriku sendiri.
Dia menoleh padaku, ekspresinya sejenak berubah. "Hampir bilang apa?"
Aku menggigit bibir. Aku ingat betul, di tengah gerimis yang turun, dia menoleh ke arahku, menarik napas seolah hendak mengucapkan sesuatu yang penting. Aku tahu dia menggumamkan sesuatu dengan pelan, tetapi suara hujan membuat apa yang dia bisikkan tidak terdengar.
Dan sesaat kemudian, dia hanya tersenyum dan bilang kalau aku harus segera pulang biar nggak sakit. Aku ingat setiap detail kejadian hari itu.
Aku menatap Wafda, mencoba mencari jawaban di wajahnya. Tapi Wafda hanya menatap tiket di tangannya, menggulungnya pelan sebelum menyelipkannya kembali ke saku jaket.
"Kadang, kita memang nggak bisa milih mana yang bakal terus ada di kepala kita," katanya, mengulang kalimat sebelumnya dengan nada yang lebih pelan. "Tapi mungkin, beberapa hal memang lebih baik dibiarkan begitu aja."
Aku tidak yakin setuju dengan itu. Tapi aku juga tidak bertanya lebih jauh.
Dia berbalik, melangkah perlahan menuju parkiran. Aku tetap berdiri di tempatku, menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Aku ingin bertanya. Aku ingin tahu. Tapi untuk alasan yang bahkan aku sendiri tidak mengerti, aku hanya bisa diam.
Kami berjalan menyusuri taman dalam keheningan. Tak lama, Me and You Against the World kembali terdengar dari mulutnya. Seolah tengah menegaskan sesuatu.
“Your favorite song, kan, Sel?”
Aku hanya tersenyum lemah. Little bit you know, Da. You missed one more thing about me. Lately, The Conversation has been my favorite.

Posting Komentar