Perempuan itu mendorong pintu kaca yang telah menguning tersebut pelan-pelan. Suara engsel pintu berkarat menyambutnya dengan ramai. Ditambah dentingan lonceng angin tua di jendela besar bergaya lama serta suara kipas angin gantung di langit-langitnya yang penuh bercak kuning. Mungkin karena atapnya yang sering bocor atau bekas pesing tikus kota yang sering berkelebatan di bar uzur ini.
Bau apak bercampur rasa sejuk tidak wajar langsung mendekap tubuh kecilnya tanpa ampun, membuat perempuan itu tersenyum. Suasana bar ini membawanya ke masa lalu. Pada waktu dimana dia masih bertingkah seperti merpati perawan, malu-malu tapi mau. Atau mau tapi malu-malu?
Ah, apapun itu, dia sekarang sedang asyik mengamati isi bar yang sudah berdiri selama puluhan tahun tetapi tidak kunjung berubah sejak pertama ia menjejakkan kaki di sana. Bar ini memang tidak memiliki bir ataupun pelayanan terbaik, tapi dia punya cukup banyak kenangan di dalamnya.
Oleh karena itu, begitu kembali lagi ke kota ini, ia langsung mengunjunginya. Mengulang kenangan. Perempuan itu mengunjungi galeri di pojok ingatannya yang sudah berdebu.
Bangku-bangku dari kayu jati sudah semakin gelap cokelatnya dan poster tua di sebelah meja bar, bergambar seorang laki-laki pemberontak dari timur tengah dengan ekspresi paling galak yang sudah terpasang di sana mungkin sejak kedai ini berdiri dan pemilik kedai yang masih sama, meskipun sudah terlihat semakin ringkih
“Waktu mengubah segalanya, kecuali kenangan dalam bar ini,” katanya menyapa pemilik bar dengan ceria.
Wanita tersebut duduk di kursi tinggi di depan meja bar. Pria tua itu cuma melihatnya sekilas, lalu meletakkan gelas basah dan pergi ke belakang. Dia kembali sepuluh menit kemudian dengan segelas besar minuman berwarna kuning dan berbusa di atasnya. Meletakkan gelas itu di depan perempuan dan melanjutkan pekerjaan mengelap gelas-gelas kaca yang basah.
Laki-laki tua dengan kemalasan bicaranya yang sama, meski sudah banyak waktu berlalu.
“Aku menunggu teman lamaku. Kau tentu mengingat kami, dulu nyaris setiap malam kami berada di sini. Dua puluh tahun lalu. Ingat,kan?” dia tertawa ketika melihat si pemilik bar menatapnya dengan aneh. “Ya, ingatan dua puluh tahun memang kadang-kadang kabur. Tidak heran kau lupa. Kita jarang mengobrol dulu. Ah, kalau kuingat lagi, sebetulnya kita tidak pernah berbicara sama sekali.”
Dia menyesap bir sedikit dan mengelap busa yang tertinggal di atas bibir, “Mungkin temanku akan datang sebentar lagi. Katanya, dia sedang menyetir kesini. Serius, bertemu lagi dengannya di dalam sini seperti mengulang masa lalu. Apa istilahnya? Ya, de javu. Mestinya de javu yang menyenangkan.”
Laki-laki tua itu cuma berdeham tidak tertarik. Seolah-olah dia berkata melalui aksi diamnya; Lakukan apapun dan katakan segalanya, Nyonya. Tapi jangan lupa bayar birmu!
Dan perempuan itu menyesap birnya dalam diam. Jantungnya berdebar-debar selama menunggu.
Masih dia ingat mata lelah itu, yang urat-urat merahnya terlihat karena kurang tidur. Atau tangan kurus yang selalu ingin dia genggam. Atau hidung mancungnya yang ingin dia tarik gemas. Atau bibir gelapnya yang tebal, yang membuatnya penasaran bagaimana rasanya.
Apakah manis seperti parasnya atau malah seperti bir? Atau seperti rokok yang kadang-kadang dia hisap kala suntuk?
Entah, perempuan itu tidak pernah tahu. Sama dengan dia yang tidak pernah mengecup bibir itu. Tapi dia bisa menebaknya. Pasti akan sangat lembut, tenang dan menyenangkan. Rasanya mungkin akan sama dengan perlindungan yang ditawarkan bahu lebarnya.
Ah, betul kata orang jika kenangan itu seperti hantu di sudut pikir. Dia akan menggerayangimu pelan-pelan, hingga tidak ada lagi yang dapat kau pikirkan selain hantu tersebut. Dan perempuan ini sudah memiliki hantu dalam pikirannya. Sosok kawannya, yang kenangannya tidak pernah hilang sejak dua puluh tahun berakhir. Hantu milik perempuan itu rutin mengunjungi, seperti kutu yang menempel di rambut. Tidak ingin pergi, tidak ingin lepas.
Deritan engsel pintu terdengar lagi, membuat punggung perempuan itu tegak seketika. Itu pasti dia. Pasti dia.
Siapa lagi orang yang akan mengunjungi bar tua yang murahan dan kuno ini? Selain orang-orang yang ingin mengulang sebuah kenangan seperti dia dan kawannya? Anak-anak muda zaman sekarang lebih suka mengunjungi kelab malam, menari sesuka hati seperti tidak memiliki moral ketimbang mendatangi sebuah bar tua. Bukan berarti mengunjungi bar tua seperti ini adalah bermoral.
Suara jejak langkah terdengar pelan-pelan.
Tiba-tiba perempuan itu diserang rasa gugup yang keterlaluan. Dia mulai bertanya-tanya apakah potongan rambutnya cukup menarik? Apakah bajunya ketinggalan zaman atau malah tidak sesuai usia?
Demi Tuhan, bukankah aku cukup baik di usia ini?
Perempuan itu mencuri pandang ke botol bir berdebu, berusaha menilik penampilannya sekali lagi. Tidak buruk, sungguh. Kulitnya memang tidak seperti dua puluh tahun lalu, tapi pesona alami perempuan empat puluh dua itu masih ada.
Dia mulai berpikir-pikir bagaimana cara menyapa dengan baik, apakah dia akan menggunakan nada bersahabat atau menggoda atau manja atau senang agar bisa menutupi rasa rindu yang sudah menyamudera, ketika tepukan ringan itu mampir ke pundaknya. Hangat. Dan membuat jantungnya berdegub.
“Apa kabar?”
***
Dua gelas besar bir tersedia di depan meja. Gelas perempuan itu telah diisi penuh lagi. Mereka duduk bersebelahan di bawah lampu lima watt yang remang-remang. Pemilik Bar masih mengelap gelas-gelas basah dengan sama tidak pedulinya.
“Waktu berlalu bagai terbang. Lihat bagaimana kita dulu, lihat bagaimana kita sekarang,” Perempuan itu berkata.
“Bukan waktunya yang terbang, kita yang melesat terlalu cepat.”
Dengan sikap skeptis yang sama. Mata merah yang sama dengan urat-urat yang terlihat jelas. Tangan kurus yang sama. Hidung mancung yang sama. Bibir tebalnya yang sama, meski sekarang bertambah hitam karena terlalu banyak merokok. Senang mengetahui kalau laki-laki itu masih orang yang sama, meskipun kulitnya telah termakan usia.
“Tapi meskipun demikian, waktu tetaplah makhluk mengerikan yang bisa mengubah segalanya tepat di depan mata kita, kan?” laki-laki itu melanjutkan.
“Ya. Waktu secara perlahan mengubah semua. Mengubah potret kota di tengah kemajuan zaman. Waktu juga sering menertawakan ketidakmampuan kita dalam menghentikan perubahan itu.”
“Ah, potret kota,” gumam laki-laki itu kemudian meneguk birnya sedikit, “Itulah yang paling membuatku takut.”
Perempuan itu melihatnya, tidak mengatakan apa-apa. Hanya menunggu si laki-laki melanjutkan kalimatnya.
“Potret-potret kota yang terus berubah membuatku takut,” keluh laki-laki itu kasar. Diteguknya lagi isi gelasnya, kali ini dengan rakus.
“Takut apa?”
“Takut kalau suatu hari nanti, potret kenanganku dengannya juga berubah!”
Kali ini, giliran perempuan itu yang meneguk bir-nya dengan rakus.
“Kau masih bersamanya?”
Laki-laki itu mengernyitkan dahi, “Tidak.”
“Kau sudah pernah menikah?”
“Tidak.”
“Dia sudah menikah?”
“Anak pertamanya baru saja masuk kuliah.”
Perempuan itu menyesap birnya pelan-pelan.
“Agaknya, cinta itu macam hantu.”
“Ya.”
“Mereka menghantui orang-orang sesuka hati, tanpa kenal waktu, usia dan jenis kelamin.”
Laki-laki itu hanya tertawa.
“Macam kau. Kau masih mencintainya, bukan?”
Laki-laki itu tertawa lagi, lebih keras. Tapi, sekarang yang terdengar hanya tawa dingin, “Apa arti cinta bagi pria berusia empat puluh dua tahun?”
“Apa arti cinta bagi pria berusia empat puluh dua tahun. Kau pelan-pelan berubah menjadi lebih melankolis.”
Laki-laki itu tertawa “Ya, benar. Waktu juga membuatku melankolis.”
“Patah hati yang membuatmu melankolis, Sayang.”
“Ya, betul,” laki-laki itu menyetujui, “Tapi patah hati juga yang membuatku mampu sadar bahwa betapa agungnya sebuah cinta, yang bahkan tidak akan luntur oleh kenyataan pahit. Bukankah begitu?”
Perempuan itu meneguk air liurnya sendiri. Dia terdiam lama dan panjang, sambil sesekali menyesapi isi gelasnya pelan-pelan.
“Tapi,” katanya setelah bir dalam gelas itu tinggal satu tegukan saja, “Cintamu itu akan luntur oleh potret kota yang terus berubah.”
Dan mereka terjebak dalam keheningan panjang. Hingga bir-bir itu kandas di tempatnya. Keheningan yang membuat mereka enggan mengisi ulang gelas-gelas itu.
Pak Tua pemilik bar asyik mengelap gelas basahnya. Enggan paham kepada keheningan panjang tidak menyenangkan yang dialami sepasang pelanggan lamanya.
***
Potret-potret kota, potret cinta, potret-potret masa lalu, potret-potret mereka berdua.
Perempuan itu mendesah sambil mendorong gelas bir menjauhinya. Laki-laki itu sudah pamit sedari tadi, tapi dia bahkan tidak mencegahnya. Tidak mengatakan apa maksudnya mengajak laki-laki itu bertemu di sini. Tidak mendengar hal yang ingin dia dengar.
Karena dia tahu persis apa jawabannya.
Dia berdiri dan membuka pintu kaca yang berderit. Pelan-pelan melangkah meninggalkan kenangan masa mudanya yang tidak akan pernah ia kunjungi lagi.
Ah, mungkin waktu memang memgubah segalanya. Pikirnya. Tapi, waktu tidak bisa merubah potretnya bersama laki-laki itu.
Simpang Empat, 15 Oktober 2018
Publikasi pertama: 22 April 2019
Publikasi ulang: 1 Februari 2025
Posting Komentar